Tatkala senja kelabu menyapa toreh luka yang terdahulu. Kembali hati ini tersusupi oleh sapaan dingin angin. Terbalut getaran indah dalam kemasan hati.
Apakah dirimu merasakan syahdunya sesuatu yang dijuluki rindu?
Gerimis ini seolah Allah kirim untuk kembali mengingatkanku padamu. Sesosok anak manusia yang pernah menjadi bagian di sudut hatiku. Kunikmati setiap alunan rintik-rintik yang semakin deras. Semakin jauh lamunanku tentangmu. Tak mampu kupungkiri bahwa hati ini selalu haus oleh bayangmu. Jiwa ini selalu merindu. Pikiranku selalu mengenangmu. Lidah ini tak pernah kelu menyebut namamu. Hujan senja kini kian mengada lebatnya. Sementara lukisan kenangan tentang kita semakin jelas di memori ingatanku. Tak kuasa kumengendalikan gejolak hati.
Tatkala hati ini sedang mencinta
Sedang hati masih dalam kepalan takdirMu
Izinkanlah aku menyayanginya dengan keimananku padaMu
Menyayangi tanpa mengharap ia di dekatku
Izinkan aku melepasnya karena keimananku padaMu
Melepasnya tanpa memaksa lupa akan kenangan bersamanya

Dedaunan musim semi berserakan tersapu angin. Sungai di hadapanku mengalir dengan derasnya dititiki gerimis di permukaan air. Sepucuk daun poplar ikut terseret arus. Tangan mungilku segera meraih untuk menyelamatkannya. Mungkin daun ini yang mengingatkanku. Lekat-lekat sepasang mata memandangi dengan kehangatan ilusi. Tanpa makna. Tanpa arti.
Bola mataku berkaca-kaca. Samar-samar menatapi tangisan langit. Tiada daya menahan air mata. Setetes demi setetes berjatuhan. Kini bulir-bulir itu bercucuran membasahi pipi. Semua tentangmu terlalu indah untuk menjadi kenangan. Semua tentangmu terlalu sayang untuk dilupakan. Kini senja meredup. Lalu kau bisikkan cinta-cinta itu dalam ragaku. Masih juga kau balut pedihku dengan senyummu. Ingatkah engkau, aku pernah menyayangimu. Lebih dari ini.
Tangis ini semakin menjadi. Tubuh mungilku kian rapuh. Kini kuterduduk di lapangnya alam bebas. Ditemani tangisan langit yang tak kunjung mereda. Basah. Entah mengapa hujan ini kembali mengingatmu. Sosok yang selama ini telah menghilang dalam anganku. Kau masih sahabatku meski kini kutak tahu sedikitpun tentangmu.
Dua tahun yang lalu, kau menghilang tanpa kabar. Kau tinggalkan aku di saat aku merasa kian nyaman bersamamu. Kau lenyap dimakan waktu. Kau pergi membawa bahagia yang telah kita tanam bersama. Sungguh, kubahagia saat kau ada di dekatku. Kau antarkan aku untuk mengenal Tuhanku. Kujuga bahagia kau pergi meninggalkanku. Lewat cara ini, kau tuntun aku untuk mengenal Tuhanku lebih jauh lagi.
Bukan salah cinta ketika perasaan ini ada dalam hatiku. Namun ini salahku yang tak mampu meletakkan cinta sesuai lajurNya. Argh! Bukankah selama ini aku juga telah menjaga hati yang memang seharusnya terjaga? Lalu bisikan-bisikan cinta itu kembali hadir tanpa aku memanggilnya. Ia tak pernah hilang terseret angin badai. Ia tak mati terbunuh waktu. Hujan ini mengingatkanku. Tempat ini masih mengenangmu. Aku tak berharap banyak kau akan kembali padaku.
Mungkin ini jalan yang terbaik menurutNya
kau harus pergi meninggalkanku
Sejenak menenangkan hati
Menelusuri samudera perjalanan  mimpi yang masih panjang
Teringat tentang sebuah ritual yang dahulu kau ajarkan. Ritual untuk melepas segala penatnya hati. Segera tangan ini meraih secarik kertas dan sebuah botol plastik kosong dalam tas. Perlahan aku menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Kuulang-ulang ini berkali-kali. Kini hati lebih terkondisikan kembali. Jemari merengkuh sebuah pena kesayangan, menikmati setiap goresan yang gemulai di atas kertas. Kutuliskan semua keluhan hati, ditemani sayup-sayup merdu rintikan hujan yang masih lebat.
Untukmu sahabat “Pelangi Impianku”
Lewat surat ini kutuliskan sebuah pernyataan tentang lima aksara yang terpendam di lubuk hatiku sejak aku mengenalmu. Engkau laksana minuman yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga kalbuku.
Kurasa, cinta bagai ilham dari langit yang menerobos dada dan bersemayam dalam jiwa. Kini kuakan mati karena asmara yang telah melilit seluruh nurani. Saat pertama kali  kumengenal nama cinta, tersadar bahwa aku mencintaimu. Kurasa api neraka telah menyala bersiap memanggang nafsu ini.. Sejak kukenal cintamu, aku tiba di lembah air mata bahkan tak bisa kukatakan siapa sebenarnya diriku. Beritahu aku siapa yang bernama cinta?
Seperti angin membadai. Kutak melihatnya. Namun kumerasakannya. Merasakan kerja saat memindah gunung pasir di tengah gurun. Atau merangsang amuk gelombang di laut lepas. Atau meluluhlantakkan bangunan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan. Begitulah cinta ini. Tak terlihat hanya terasa. Tapi dahsyat. Seperti banjir menderas. Kutak kuasa mencegahnya. Kuhanya bisa menganga ketika ia meluapi sungai-sungai, menjamah seluruh permukaan bumi menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya. Dalam sekejap ia merajai bumi dan merengkuhnya dalam kelembutan. Setelah itu ia kembali tenang, seperti seekor harimau kenyang yang terlelap tenang. Demikianlah cintaku. Ia ditakdirkan menjadi makna tersantun yang menyimpan kekuasaan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kutak kuat melawannya. Kuhanya bisa menari di sekitarnya saat ia mengunggun. Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi. Atau meraung saat lidahnya melahap siapa yang disekitarnya. Dan seketika semua menjadi abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah cintaku. Ia ditakdirkan menjadi kekuatan angkara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan.
Sepenggal cinta mampu mengubah dunia menjadi firdaus. Cinta juga bisa mengubah dunia menjadi sahara yang teramat tandus dan panas. Cinta, ia adalah kekuatan yang menahkodai semua kebaikan dan keburukan di mayapada.
Cintamu membuat hatiku bagai dirajam duri. Cintamu memenjarakanku pada api neraka. Bukan salahmu, mungkin karena aku tak menaruh cinta dilajurNya.
Namun, mencintaimu takkan pernah kusesali. Engkau cinta pertamaku yang mengajariku banyak hal. Kepada siapa cintaku lebih pantas dipersembahkan.            Usai sudah hati mengungkap segenap rasa, lalu segera aku menggulung secarik kertas itu penuh cinta. Mengikatnya dengan pita coklat warna kesukaanku. Lalu memasukkan ke dalam botol kaca. Kubiarkan dia lenyap ditelan derasnya aliran sungai ini. Kini hati merasa lebih damai. Selamat jalan cintaku!
. . .
Empat tahun telah berlalu. Kini aku telah tumbuh menjadi gadis berhijab yang lebih bisa mengkondisikan keadaan hati. Memaknai setiap kejadian dan mengikhlaskan apapun yang terjadi karena memang semuanya telah digariskanNya. Kubuka kembali buku yang kuberi nama “Pelangi Impian”. Lekat-lekat sepasang mata memperhatikan satu per satu mimpi yang pernah tertuliskan. Aku tersenyum bahagia, mimpi-mimpi yang dulu hanya goresan di atas kertas kini telah menjadi nyata.
Kembali kuteringat padamu. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih yang paling tulus dari dalam hatiku untukmu. “Pelangi Impian” itu ada sejak  diri ini mengenalmu. Kau ajarkan aku bagaimana cara bermimpi, kau semangati aku dengan balutan senyummu di atas tangisku ketika terjatuh mengejar mimpi. Nama “Pelangi Impian” pun ada terinspirasi dari kebersamaan kita.
Pelangi Impian. Kuberi nama itu agar setiap mimpiku seindah pelangi. Ia akan nampak rupanya setelah lebatnya hujan yang membasahi bumi. Hujan ibarat cucuran air mata dan keringat setiap pengorbanan dan perjuangan meraih impian. Namun pelangi tak pasti nampak setelah hujan lebat, ia menyeleksi kapan ia harus menampakkan rupanya. Semuanya indah pada waktunya. Bukan kita yang menentukan takdir, namun takdir menentukan kita. Tetapi bukan berarti kita hanya diam menanti takdir, akukan yang terbaik semampu kita.
Kembali kutuliskan sepucuk surat,  “Hai sahabat -pelangi impianku-, terima kasih kau ajarkan semua ini padaku. Kini mimpi-mimpiku menjadi nyata. Kini aku telah menjadi mahasiswi kedokteran di sebuah negeri penjajah yang dulu kuimpikan dan karya tulisku semakin bertambah. Semua berjalan sesuai harapan dan takdirNya. Bagaimana kabarmu di sana? Meskipun kau tak mungkin membaca ini, tapi kupercaya Tuhan membisikkan apa yang kutulis padamu.Semoga Tuhan memberikan yang terbaik untukmu dimanapun kau berada. Salam rindu. Sahabatmu, Amirah.” Kugulung dan membiarkan ia pergi bersama aliran sungai itu lagi. Kini aku benar-benar bisa tersenyum bahagia, sangat bahagia.
Kembali kuarungi perjalanan yang masih panjang. Jalan yang kian terhampar di depan pelupuk mata. Kucoba buka lembaran baru. Baru, bersih, putih tanpa namamu. Aku tak melupakanmu. Hanya saja aku belajar meletakkan cintamu sesuai lajurNya. 
Waktu yang terus berputar
Jarak yang begitu jauh terhampar
Merekalah yang nantinya akan menyingkap sebuah rahasia besar
Akankah cinta itu tetap bertahan
dan semakin kuat ia tumbuh di sudut hati?
Atau mungkin cinta itu memudar dan mencari pelabuhan lain?
Argh, Biarlah ia tetap menjadi rahasia
hati ini dan Sang Pemilik Hati yang Hakiki

Comments (2)

On 15 Mei 2013 om 06:48 , H R Umar Faruq het gesĂȘ...

halus dan lembut, apalagi ditulis di Belanda.. Keren...

 
On 15 Mei 2013 om 14:32 , Leyla Hana het gesĂȘ...

diksinya bagus, Nik. Cocok deh nulis novel romance :-)