Amoeba Secantik Amirah
Oleh : Medika Mutiara
Pagi ini hari pertama Amirah memasuki sekolah barunya, SMA Cendikia. Ia bangga diterima di sana karena menurutnya ini merupaka sekolah terbaik di negerinya. Pintu mobilnya terbuka, perlahan kaki mungilnya berjalan memasuki sekolah dengan percaya diri. Sebagai siswa baru tentunya Amirah melakukan ritual wajib yang harus dilewati semua anak di penjuru negeri. Di mana anak bangsa dipaksa tersenyum karena ada senior ‘sok penguasa’.
Dari kejauhan nampak wajah-wajah tanpa dosa sekelompok anak manusia berdiri di samping pintu gerbang, menanti kedatangan siswa baru yang dijadikannya korban pelampiasan emosinya karena alasan terlambat. Merekalah panitia MOS Cendikia, angkatan kami menyebutnya ‘penunggu gerbang misterius’. Dengan cepat Amirah mengambil jarak untuk lompatan harimaunya dan ia terobosi pagar yang hampir tertutup itu. Tanpa tersadar ada sepasang mata yang mengintai tajam sosok mungil berhijab itu. Segera Amirah mengambil langkah seribu menghindari penunggu gerbang itu.
Peluit panjang berkumandang memanggil peserta MOS untuk upacAmirah apel. Terdengar suAmirah danton mengumpulkan semangat peserta,“A-MOE-BA?” ujarnya lantang bak memimpin upacAmirah. Amoeba, sebutan peserta MOS SMA Cendikia Bangsa, “Anak Moerid Baru”. “Cendikia Istimewa, prestasi Luar Biasa” sontak seluruh Amoeba.
. . .
Dalam “Job Notes” Amirah, tercatat daftar tugas makanan yang harus dibawa selama MOS Cendekia. Panitia tidak memberi daftar makanan begitu saja, mereka memberikan kosakata-kosakata aneh yang harus didefinisikan terlebih dahulu. Namun Amirah mampu menebak kosakata itu karena ia selama ini sastra itu dunianya.
Hari pertama : King Juck Fruit (ternyata buah pisang Raja Nangka) , H2SO3 cokelat (cocacola), dan Gandum lautan api (roti bakar)
Hari kedua      : Bilangan '2,3,5' (Air minum cap Prima) , Buah trenggiling (buah salak), dan Guling Sobek Berdarah (roti panjang isi stroberi)
 Hari ketiga     : Dewi Sri Berjemur rasa nangka, semangka, durian (nasi Goreng rasa buah), Batu-bata belanda (oncom), minuman ringan membangkitkan ulama (NU Green Tea)
. . .
Kamu saya hukum karena kamu melanggar tugas. Hukumannya, kamu harus mengatakan cinta pada Ketua Angkatan Kami. Pokoknya harus ngrayu dia sampai dia mau. Nih nembaknya pake ini” Kak Farhan sembari memberikan pisang kepada Amirah.
 “Haduh,  boro-boro kenal tau orangnya aja enggak.” Amirah berguman.
Heh, siapa namamu?
Siap, Amirah kak!
Oke, Amirah! Cepat lakukan saja, atau hukuman saya tambah lagi.
Siap, laksanakan kak!
Amirah keluar meninggalkan ruangan, dirinya tak tahu kemana harus berjalan mencari seseorang yang berpredikat Ketua Angkatan yang dikehendaki kakak seniornya itu. Tak sengaja ia bertemu dengan Kak Dika, sepupunya yang sekaligus menjabat sebagai KetUm MOS tahun ini. Kak, ketua angkatannya siapa?”tanya Amirah.
Jangan tanya kakak, tanya yang lain aja!”
Amirah lalu beranjak pergi, berjalan dengan lemah, dan memasang muka mendung penuh kekecewaan.
Karena tak tega, Kak Dika mempercepat langkah kaki menghampiri adiknya. Namanya Kak Adi. Sekarang dia di sekertariat bawah.” Lalu Kak Dika berlalu begitu saja.
. . .
“Maaf permisi, Kak Adi ya?”
Sosok pemuda itu berbalik badan dan tersenyum begitu manis, “Iya. Ada yang bisa saya bantu?”
Bagas Permadi Ramadhani. Nama yang bagus, mana orangnya ramah banget, gak kayak senior yang di kelas tadi! ujar Amirah lirih.
“Kenapa bengong? Oiya dengan siapa ya?”
“Nama saya Amirah Kak, amoeba.”
“Ada keperluan apa ya dek Amirah?”
“Jadi begini Kak. Amirah lagi dihukum sama kakak senior yang ada di kelas.”
Kak Adi hanya tersenyum tipis, “Memangnya kamu ngapain tadi?”
“Ya masak tadi di suruh makan permen sebuah buat sekelas secara bergantian gitu. Amirah duduk di depan sendiri kan tadi. Jadi kalau urusan makan permen, Amirah kebagian urutan kedua setelah Medika kak. Nah, waktu tadi permennya udah di bagian Amirah, trus Amirah makan sendiri deh itu permennya, Amirah habisin. Biar yang lain gak makan sisa jilatan orang lain.Trus Amirah dapat hukuman deh dari kakak senior yang super nyebelin itu.”
“Kok gitu Amirah? Kakak senior itu sebetulnya mengajarkan apa arti kebersamaan dan kekompakan melalui permen.”
Kasihan kak, gimana kalau ada yang punya penyakit, trus menular ke temen yang lain? Amirah  cuma kasian sama temen-temen Amirah yang paling belakang, dia cuma dapat sisa jilatan dari orang lain. Mana Amirah lihat temen-temen banyak yang udah pengen nangis dan mual waktu disuruh melakukan itu, ya meskipun mereka belum makan, tapi Amirah tetep gak tega Kak. Gimana kalau permennya udah di comot itu ganti di comot ini. Gimana kalau yang nyomot notabenenya ikhwan-akhwat gitu. Gak kebayang dunia,
“Iya Amirah, kakak tahu. Tujuanmu memang baik, tapi ini MOS. Kakak senior pasti sudah mempertimbangkan dengan selektif dalam hal ini.” Tersenyum dengan pendapat Amirah yang lumayan nyleneh tapi bisa dimasukin akal pikirannya. Ia mulai tertarik padanya, apalagi ketika Amirah mengucapkan nama “ikhwan-akhwat”. Unik banget nih anak! Gumannya dalam hati.
Tiba-tiba bel istirahat telah berbunyi. Tanda saatnya ritual makan ala MOS Cendikia. Satu persatu siswa baru memadati lapangan upacAmirah, tempat makan bersama.
Namun salah seorang kakak panitia MOS Amoeba mengumandangkan beberapa patah kalimat di depan para Amoeba, “Sambil menikmati makanan yang ajib, kalian akan melihat hiburan yang tak kalah menyenangkan dari salah seorang Amoeba, yuk kita panggil Amirah.” Amirah tersentak kaget mendengar hal itu. Oh apa lagi ini? Hukuman yang tadi aja belum kelar. Pikirnya saat itu.
Suara peluit panjang memanggil Amirah untuk menghadap kakak senior itu.“Hormat senior, hormat panglima amoeba” Amirah ucapkan dengan lantang, posisi tegap bak upacAmirah penghormatan tamu agung. Salam kehormatan para Amoeba pada senior,
Hormat suci diterima.” Balas kakak senior yang berdiri di antara para Amoeba yang sedang duduk menikmati makanan yang tak layak dimakan, bagaimana tidak. Nasi goreng rasa nangka, apel dan semangka diaduk jadi satu. “Sekarang kalian tonton hiburan yang tak boleh terlewatkan ini. Teman kalian, Amoeba yang berdiri di samping panglima besar akan menghibur kalian, dia akan mengungkapkan cinta pada senior terhormat kami, yuk kita panggil juga Kak Adi” sosok itu melanjutkan pembicaraanya. Suasana makin mengharu biru saat itu.
Nampak dari jauh Kak Dika, sepupu Amirah mengerutkan dahinya. Mungkin ia tak mengerti, sebagai KetUm MOS Amoeba sepertinya acara ini tak ada dalam duplikasi catatannya. Ia begitu kaget ketika bola mata Amirah dari jarak yang cukup jauh tertuju padanya dengan roman wajah lesu, namun segera Kak Dika memasang senyum terindahnya menyemangati saudara kesayangannya. Mungkin belum ada yang tahu bahwa Amirah adalah adiknya.
Sementara, dari kejauhan Nampak Kak Adi berjalan menuju lapangan upacara dengan santai seolah tiada beban. Apa dia gak malu? Tanya Amirah dalam benaknya.
 “Ayo lakukan!” Sebuah spiker yang disodorkan senior terkiller membuat Amirah tersadar dari lamunannya.
“Ehm. Kak, maaf sebelumnya.” Ucap Amirah lirih pada Kak Adi.
Kak Adi hanya tersenyum misterius sembari menganggukkan kepalanya. “Ehem” Amirah memulai bersuAmirah pada spiker itu. Bola matanya berputar-putar mencari ide yang biasanya datang tak diundang.
“Beberapa jam yang lalu. Kali pertamanya kulihat kau berdiri tegak lurus lantai. Tak sengaja kulihat alismu yang berbentuk setengah lingkAmirahn berdiameter 4 cm. saat itulah kurasakan sesuatu yang lain padamu. Kurasakan cinta yang rumit bagaikan invers matriks berordo 5x5.” Amirah menghela napas sejenak, mengusir rasa grogi yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Kerudung putih bersih tersibak angin yang menerpa wajahnya, Amirah tertunduk hendak menjaga pandangannya yang memang seharusnya tetap terjaga. Lagi-lagi, Kak Adi tersenyum misterius menatapnya.
 Satu jam yang lalu, waktu kembali mempertemukan kita. Kurasakan cintaku bertambah, bagaikan deret divergen yang mendekati tak hingga. Limit cintaku bagaikan limit tak hingga. Aku semakin yakin, hukum cinta kita bagaikan hukum kekekalan trigonometri sin2+cos2 = 1. Kurasakan dunia bagai kubus ini menjadi milik kita berdua. Dari titik sudut yang berseberangan, kau dan aku pasti bertemu di perpotongan diagonal ruang. Bagaimana gerangan hatimu?” Amirah menyelesaikan senjata ampuhnya masih dalam keadaan tertunduk malu.
Cerdas juga ini anak! Bertambah rasa kagum Kak Adi pada amoeba muslimah itu.
Semenjak bertemu denganmu, energi statik benih cintamu telah mengejutkan gaya pegas jantungku, sehingga jantungku berdetak tak beraturan bagaikan gelombang bunyi gendang yang tak beraturan saat aku berada beberapa meter darimu. Refleksi cahaya cintamu telah membunuh urat mataku sehinga membiaskan bayangan wajahmu yang selalu di otakku.” Jawab Kak Adi terlihat tak mau kalah dengan Amirah,
“Jazakumullah Kak. Assalamu’alaykum.”
. . .
Hari yang dinanti-nanti para Amoeba kian mendekat. Sekitar sejam ke depan, MOS Cendikia berakhir. Penindasan tamat. Saat ini acara Apel di Joglo, pengumuman Amoeba terfavorit putra dan putri, serta pengesahan aktor dan aktris terbaik panitia MOS Cendikia.
Sempat tercengang begitu lama. Saat kak MC super killer memanggil nama “Amirah Ahlami Adzra” sebagai Amoeba terfavorit putri. Dan teman sekelasnya, “Ahnaf Ahwaz” sebagai Amoeba terfavorit putra. Sorak sorai dari kelas Amoeba 2 mengembang karena kedua Amoeba terfavorit dari kelas itu. Amirah hanya tersenyum tipis, “Kalian bangga karena kalian tidak tahu. Kita jadi terfavorit karena tak ada amoeba lain yang selalu dihukum tanpa sebab yang jelas selain kita.” Rasa takut Amirah pun telah sirna, hilang dilahap waktu. Sepatah dua patah kata semangat dan pesan suci terucap dari kakak-kakak senior. Kata maaf berjatuhan di joglo itu. Kini Amirah tersadar bahwa semua hanya penggenap cerita MOS SMAnya, hanya kenangan, mungkin bisa jadi kakak-kakak seniornya tertarik padanya sehingga selalu dijadikan kambing hitam.
Namun jalan menuju kebebasan masih satu lagi. Saatnya upacara resmi penutupan MOS Amoeba dari pihak sekolah. Upacara terlihat cukup khidmat, para Amoeba dan senior begitu antusias mengikutinya karena saat itu adalah detik-detik terakhir menuju kebebasan. Amirah pun begitu, ia nampak tersenyum terbebas dari penindasan. Namun, tiba-tiba dunianya kembali meredup. Saat namanya terpanggil sebagai siswi dengan surat cinta terbaik dan diharuskan membaca di depan. Saat MOS Amoeba hari kedua memang Amoeba disuruh membuat surat cinta.
Dengan kekesalannya, Amirah mendekati sumber suara. Perlahan ia menatap mata-mata yang tertuju padanya, tak sadar bahwa ada sepasang mata yang menatapnya tajam sedari tadi. Tak sengaja sepasang bola matanya bertemu dengan bola mata pengintai itu, Kak Adi, sontak langsung Amirah mengalihkan pandangan dan membaca surat cintanya.
Lewat surat ini kutuliskan sebuah pernyataan tentang lima aksara yang terpendam di lubuk hatiku sejak kumengenalmu. Tak bisa kupungkiri bahwa hati selalu haus oleh bayangmu, jiwaku selalu merindu, pikiranku selalu mengenang, dan lidahku tak pernah kelu menyebut namamu. Engkau laksana minuman yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga kalbuku. Cintaku padamu adalah cinta suci, tak tercampur dengan nafsu walau sebutir debu. Meskipun orang mencela, mengusir, dan menyia-nyiakan diriku.
Kurasa cinta bagai ilham dari langit yang menerobos dada dan bersemayam dalam jiwa. Dan kini aku akan mati karena asmara yang telah melilit seluruh nurani. Aku terlalu awam dengan nama CINTA. Saat pertama kali aku mengenal nama cinta tersadar bahwa kini aku mencintaimu, kurasa api neraka telah menyala bersiap memanggang nafsu , tak henti kumenangis ketakutan. Sejak kukenal cintamu, aku tiba di lembah air mata ini bahkan tak bisa kukatakan siapa sebenarnya diriku. Ajari aku siapa yang bernama cinta? ...............................................................................................................................................................................................................................................................................
Terlihat para guru, siswa yang terpesona dengan karya si anak ingusan berbalut hijab lebar ini. Sementara Amirah masih meneruskan deklarasi cintanya.  
Dalam benak Amirah terucap lirih “puisi ini untukmu, hanya mengenalmu sesaat namun kutak kuasa memaknainya, namun diamku lebih baik.” (*)